Mungkin kita lupa bahwa pintar saja tidak cukup. Bahwa kepintaran mampu mencetak banyak uang, mungkin benar. Namun, sukses hidup tentu tidak dipatok hanya dari banyak uang. Tidak semua semerbak kehidupan bisa dibeli dengan uang.
Kelaparan anak Amerika sekarang, konon, lantaran mereka tak punya arah hidup. Pintar – pintar, tetapi rasa arah hilang, krisis spiritual, kerawanan jiwa, dan merasa hidup nihil. Tak sedikit orang yang kehilangan mapan sekarang membutuhkan “ logotherapy “, terapi buat penyakit orang yang hidupnya tanpa makna ( meaningless life ).
Gambaran kelabu seperti itu kelihatannya sedang memberi warna pada Generasi X, generasi dunia paling bungsu sekarang ini. Setelah baby boomers tahun 1950-an, baby busters tahun 1964-an, kita Gen-X dijuluki orang sebagai “ generasi bingung “ ( ambivalensi ). Hidup mewah , mandiri, tetapi tak merasa bahagia.
Mereka mencari makna hidup ke mana – mana, termasuk mencarinya di narkoba, namun tak juga nemu. Mengapa ?.
Boleh jadi lantaran pendidikan dunia sudah berubah seperti “ pabrik “ ( Ivan Illich ). Anak dididik bukan untuk tujuan yang bersifat moral, tetapi lebih untuk alasan ekonomi. Orang tua, sekolah, pemerintah, masih menyimpan adagium buat apa sekolah bila tujuannya bukan buat mencari duit. Anak digiring menjadi “ mesin pencetak uang “ belaka. Yang dikejar anak, lalu itu membuat mereka menjadi stres sendiri ( makin banyak anak sekolah bunuh diri di jepang ) bagaimana selalu “ menjadi nomor satu “. Sukses hidup dianggap identik dengan banyak uang semata.
Kurikulum sekolah kita pun tak lagi mencerminkan suara masyarakat. Peran sekolah cenderung hanya mengajar dan tidak lagi mendidik. Otak anak dijejali kurikulum yang belum tentu perlu.
Menghargai NEM tinggi nilai hafalan nama kecamatan, nama tokoh, tahun sejarah, dan hal – hal yang tak ada keperluannya buat bekal memecahkan masalah hidup, dinegara maju dianggap hanya menambah sempit disket memori otak anak.
Jutawan Henry Ford mengaku bukan anak sekolahan. Waktu ditanya tentang nama toko, ia tidak tahu, lalu mengatakan Cuma perlu waktu beberapa menit buat menjawabnya dari ensiklopedi. Apa gunanya menjadi “ ensiklopedi berjalan “ bila pengetahuan itu tidak bisa membantu memecahkan masalah hidup, katanya. Tanpa sadar otak anak kita pun hanya dijadikan gudang fakta, bukan mesin pengolah data.
Singapura kini meninggalkan pendidikan yang Cuma mengisi otak dengan ilmu dan bukan memampukan anak memakai otaknya buat menggagas, dan bersolusi ( think tank ). Alasannya, orang sukses tidak harus super. Bukan isi otak saja yang menentukan sukses seseorang, tetapi bagaimana otak ditata laksana ( David J Schwartz ).
Pandai memakai otak saja pun belum cukup. Sekolah harus menjadi laboratorium pengembangan diri. Itu sebabnya sekolah harus dipimpin insinyur kepribadian agar kelak anak menjadi profesor kebahagiaan.
Anak sekarang gagal mewarisi nilai orangtua, guru, dan pemerintah. Nilai hidup berdisiplin salah satunya. Berdisiplin harus menjadi pergumulan anak paling awal, karena disiplin sarana utama untuk mengatasi masalah hidup ( M Scott Peck ). Itu sebabnya belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk hidup. Kalau pintar saja tetapi tidak disiplin, berarti tidak menjunjung tinggi kebenaran, tak mau menerima tanggung jawab, dan tidak terbiasa menunda kepuasan, bakal apa jadinya anak nanti.
Tanpa disiplin tak mungkin mencetak anak jujur. Bukanlkah kini makin susah mencari orang jujur. Tugas sekolah dan orangtua membuatkan “ peta “ agar anak tidak cumapintar. Pintar tetapi tidak jujur, tidak lebih elok daripada kurang pintar tetapi jujur.
Kita lupa kalau sejak kecil setiap manusia adalah murid. Setiap anak membutuhkan “ peta “ untuk memandu sikap, pikir, rasa, dan laku, sebab kita tidak dilahirkan dengan “ peta “. “ Peta “ memandu anak tahu rasa arah, terisi spiritualitasnya, dan merasa diri bermakna. Pendidikan agama saja tidak cukup. Agama tidak hanya ditanam di kepala, tetapi juga di hati. Untuk totalitas hidup itu pendidikan harus kembali ke basic ( Buchori ).
Sayang, tidak semua orangtua punya sikap seperti kata Kahlil Gibran. Bahwa anak bukanlah milik kita. Mereka itu anak panah, dan kita busurnya. Kebebasan anak tak boleh dirampas oleh arah busur hidup yang salah. Hari depan anak jangan dibuat sesat oleh ambisi orangtua.
Tak sedikit profesioal kendati banyak uang merasa tidak sukses, sebab tidak mencintai pekerjaannya. Kesalahan karierisme menjadikan mereka cuma tukang, dan bukan seniman berprofesi. Misal, dokter jadi anemer, atau insinyur jadi pegawai bank.
Ketika kebanyakan sekolah hanya mengajar dan tidak lagi mendidik, anak bergumul di tengah krisis moral. Nilai – nilai yang menyimpang juga dicerap anak dari masyarakatnya yang sakit. Mereka bingung melihat kebenaran menjadi soal selera, dan moral digantikan pilihan individu. Anak sudah kehilangan kemampuan membedakan yang salah dari yang benar.
Riset George Barna di sekolah-sekolah Amerika tahun 1994 menunjukkan, bila anak tak mengenal standar kebenaran, mereka akan berbohong kepada orang tua, suka menyontek, mencuri, terlibat narkoba, menyakiti orang lain, hidup tanpa tujuan, merasa kesal dan kecewa, dan marah kepada kehidupan. Munculnya kekerasan, sikap tak jujur, tak menaruh hormat pada kehidupan, melakukan seks bebas, lebih disebabkan karena mereka tak punya, atau sudah kehilangan pendukung moral.
Kini dil luar sekolah dan diluar rumah tumbuh kekacauan etis. Moralitas yang berpusat pada Tuhan tampaknya sedang beralih pada moralitas relativitis yang berpusat pada manusia. Anak melihat orang beragama ternyata belum tentu ( masih) punya moral. Anak kebingungan berdiri di pinggiran labirin moral. Itu syarat anak membutuhkan “peta”. Pintar dan beragama saja, tetapi tidak bermoral, apa jadinya.
Tidak lagi cukup memperjuangkan anak lebih pintar dan lebih pintar lagi tetap lupa membangun dan menyusun jiwa serta kepribadiannya. NEM tinggi saja belum jaminan sukses. NEM tidak mengukur kepribadian dan kreativitas. NEM bukanlah segalanya.
Keliru mengukur anak dari kuantitatifnya belaka, seperti pemerintah selama ini lupa membangun karakter bangsa, dan hanya sibuk membangun fisik. PM Mahathir Mohamad baru-baru ini cemas dan gundah sebab gagal mengubah karakter Melayu tak seulet etnis Cina sebangsanya. Kebanyakan orang tua kita pun masih menafikan ukuran kualitatif anak seperti itu. Kita angkat topi kepada sekolah yang mau mempertimbangkan ukuran kualitatif anak, bukan ukuran kecerdasan semata.
Pintar tetapi kurang bermoral bisa saja berharta dan bertakhta. Itu sebab kekacauan etis sekarang makin banyak kita saksikan dimana-mana. Begitu banyak paradoks didepan kehidupan orang dewasa yang anak lihat setiap hari.
Kekalutan hidup berbangsa kita selama ini pun boleh jadi berhulu dari kurang eloknya karekter mayoritas nama besar yang sukses hanya karena banyak harta dan punya takhta belaka. Penyebabnya amat bisa jadi karena pendidikan kita hanya mencetak nama besar, namun gagal menciptakan orang besar, dan anak kita bingung mau jadi yang mana ?.